Sabtu, 29 Agustus 2009

Suku Naulu Suku Baret Merah

http://kalipaksi.com/2009/02/26/suku-noaulu-suku-baret-merah/

Kompas menurunkan tulisan tentang suku Noaulu (baca: naulu), yang hidup di pulau Seram, Maluku Tengah. Saya pun jadi teringat perjalanan saya ke pulau ini tahun 2005 silam. Ya, sehari bersama orang-orang Noaulu, yang identik dengan ikat kepala merah mereka. Lantaran, cerita tentang seorang pemuda Noaulu yang bisa menembus seleksi menjadi anggota Kopassus (baret merah), saya pun ‘memelesetkan’ sebutan suku ini dengan sebutan suku baret merah.

Izinkan saya mengutip sebagian kecil dari paparan yang ditulis Kompas :

Nama suku Noaulu di Pulau Seram, Maluku, mencuat pada 2005 setelah polisi mengungkap kasus mutilasi yang dilakukan salah satu marga suku itu di Desa Nuanea, Amahai, Maluku Tengah.Bagian kepala, jantung, lidah, dan jari-jari dua korban akan dijadikan syarat peresmian perbaikan rumah adat baru marga Sounawe.

Dalam sidang di Pengadilan Negeri Masohi terungkap bahwa para pelaku yang dijatuhi hukuman mati dan menjadi hukuman seumur hidup dalam proses banding itu tidak bisa berbahasa Indonesia. Mereka juga tak mengetahui bahwa ada aturan hukum yang melarang pembunuhan manusia.

Tokoh masyarakat Noaulu yang juga Kepala Dusun Negeri Lama, Desa Sepa, Maluku Tengah, Marwai Leipary (25), Januari lalu, mengakui tradisi penggunaan kepala manusia sebagai persembahan pembangunan rumah adat memang ada sejak zaman dulu. Namun, aturan itu sudah dihapus oleh para tokoh adat pada 1970-an dan menggantinya dengan piring kuno atau kepala binatang kuskus.”Aturan itu sudah dihapus karena sekarang sudah berlaku hukum positif. Kalau yang terjadi dulu itu (kasus 2005 di Nuanea) adalah karena ketidaktahuan mereka,” ujarnya.

Permukiman suku Noaulu di Nuanea memang terpisah dengan suku Noaulu lain yang ada di Sepa. Jika di Nuanea hanya ada satu kelompok masyarakat, di Sepa ada lima kelompok masyarakat Noaulu yang terbagi dalam lima perkampungan, yaitu Negeri Lama, Bonara, Hauwalan, Yalahatan, dan Rohua.

Jumlah populasi suku Noaulu diperkirakan hanya ribuan orang. Negeri Lama hanya memiliki 78 keluarga yang setara dengan 271 jiwa.Ketidakmampuan berbahasa Indonesia membuat mereka juga terisolasi dari berbagai informasi pembangunan. Mereka juga cenderung eksklusif demi menjaga tradisi leluhur.Suku Noaulu yang ada di Sepa lebih terbuka karena permukiman mereka cenderung bersatu dengan warga desa lain. Tempat tinggal mereka juga terletak tak jauh dari Jalan Trans-Seram yang menghubungkan Masohi-Tehoru. Warga juga telah mengenal televisi dan berpendidikan lebih baik daripada saudara mereka di Nuanea.

Nama Noaulu didasarkan atas tempat awal permukiman mereka di hulu (ulu) Sungai Noa di jantung Pulau Seram. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, umumnya mereka berkebun dan berburu di hutan dengan menggunakan panah, tombak, dan sumpit.

Ciri utama masyarakat Noaulu adalah ikat kepala berwarna merah yang digunakan pria dewasa. Ikat kepala yang disebut kain berang itu tidak boleh dilepaskan dalam kondisi apa pun, kecuali saat mandi. Adapun perempuan yang telah bersuami wajib mengenakan kain atau selendang di pinggangnya.

Warga umumnya menganut agama yang mereka sebut agama suku Noaulu. Kepercayaan ini diwariskan oleh para leluhur dan tokoh adat melalui tuturan. Pemerintah umumnya memasukkan kepercayaan mereka itu dalam kelompok agama Hindu meskipun warga menolaknya.Keterbukaan warga Noaulu di Sepa membuat mereka lebih terbuka menerima agama lain, baik Islam maupun Kristen. Sebagian warga yang berpindah agama biasanya disebabkan oleh pernikahan dengan warga luar suku Noaulu.

Satu hal yang paling berkesan selama saya berada di sana, di antaranya adalah tentang adat kebiasaan persembahan kain merah bagi siapapun tamu yang ingin berkunjung ke desa ini–dan berkehendak bisa diterima oleh tetua suku. Entah, apakah kebiasaan itu masih berlaku hingga sekarang. Tapi, yang jelas, dulu saya membawa sehelai kain merah untuk mereka.

Benar saja, sebagai tamu, saya merasa begitu dihormati. Berbagai informasi tentang suku ini pun mengalir deras keluar dari seorang tokoh suku (sayang, saya lupa namanya. Oh, ya, saya juga sempat mengabadikan beberapa foto.

http://kalipaksi.com/2009/02/26/suku-noaulu-suku-baret-merah/

Yang Kecil Semakin Tersingkir

NAMA suku Noaulu di Pulau Seram, Maluku, mencuat pada 2005 setelah polisi mengungkap kasus mutilasi yang dilakukan salah satu marga suku itu di Desa Nuanea, Amahai, Maluku Tengah.

Bagian kepala, jantung, lidah, dan jari-jari dua korban dijadikan syarat peresmian perbaikan rumah adat baru marga Sounawe.

Dalam sidang di Pengadilan Negeri Masohi terungkap bahwa para pelaku yang dijatuhi hukuman mati dan menjadi hukuman seumur hidup dalam proses banding itu tidak bisa berbahasa Indonesia. Mereka juga tak mengetahui bahwa ada aturan hukum yang melarang pembunuhan manusia.

Tokoh masyarakat Noaulu yang juga Kepala Dusun Negeri Lama, Desa Sepa, Maluku Tengah, Marwai Leipary (25), Januari lalu, mengakui tradisi penggunaan kepala manusia sebagai persembahan pembangunan rumah adat memang ada sejak zaman dulu. Namun, aturan itu sudah dihapus oleh para tokoh adat pada 1970-an dan menggantinya dengan piring kuno atau kepala binatang kuskus.

”Aturan itu sudah dihapus karena sekarang sudah berlaku hukum positif. Kalau yang terjadi dulu itu (kasus 2005 di Nuanea) adalah karena ketidaktahuan mereka,” ujarnya.

Permukiman suku Noaulu di Nuanea memang terpisah dengan suku Noaulu lain yang ada di Sepa. Jika di Nuanea hanya ada satu kelompok masyarakat, di Sepa ada lima kelompok masyarakat Noaulu yang terbagi dalam lima perkampungan, yaitu Negeri Lama, Bonara, Hauwalan, Yalahatan, dan Rohua.

Jumlah populasi suku Noaulu diperkirakan hanya ribuan orang. Negeri Lama hanya memiliki 78 keluarga yang setara dengan 271 jiwa.

Ketidakmampuan berbahasa Indonesia membuat mereka juga terisolasi dari berbagai informasi pembangunan. Mereka juga cenderung eksklusif demi menjaga tradisi leluhur.

Suku Noaulu yang ada di Sepa lebih terbuka karena permukiman mereka cenderung bersatu dengan warga desa lain. Tempat tinggal mereka juga terletak tak jauh dari Jalan Trans-Seram yang menghubungkan Masohi-Tehoru. Warga juga telah mengenal televisi dan berpendidikan lebih baik daripada saudara mereka di Nuanea.

Nama Noaulu didasarkan atas tempat awal permukiman mereka di hulu (ulu) Sungai Noa di jantung Pulau Seram. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, umumnya mereka berkebun dan berburu di hutan dengan menggunakan panah, tombak, dan sumpit.

Ciri utama masyarakat Noaulu adalah ikat kepala berwarna merah yang digunakan pria dewasa. Ikat kepala yang disebut kain berang itu tidak boleh dilepaskan dalam kondisi apa pun, kecuali saat mandi. Adapun perempuan yang telah bersuami wajib mengenakan kain atau selendang di pinggangnya.

Warga umumnya menganut agama yang mereka sebut agama suku Noaulu. Kepercayaan ini diwariskan oleh para leluhur dan tokoh adat melalui tuturan. Pemerintah umumnya memasukkan kepercayaan mereka itu dalam kelompok agama Hindu meskipun warga menolaknya.

Keterbukaan warga Noaulu di Sepa membuat mereka lebih terbuka menerima agama lain, baik Islam maupun Kristen. Sebagian warga yang berpindah agama biasanya disebabkan oleh pernikahan dengan warga luar suku Noaulu.

Politik rasional

Walau pola hidupnya masih tradisional dan dikategorikan pemerintah sebagai komunitas adat tertinggal, pola pikir masyarakat dalam berpolitik sangat rasional. Mereka hanya akan memilih peserta pemilu kepala daerah ataupun calon anggota legislatif dari partai yang sudah terbukti membangun Noaulu.

”Bukti dulu baru kami pilih. Kami tidak percaya dengan janji-janji kosong,” kata Marwai.

Hingga kini belum ada warga Noaulu yang menjadi anggota legislatif di berbagai tingkatan. Jumlah warga yang mengenyam pendidikan hingga SLTA saja sangat terbatas.

Pada Pemilu 2009, ada lima caleg dari suku Noaulu untuk pemilu DPRD Maluku Tengah. Meskipun demikian, identitas kesukuan itu bukan pertimbangan pilihan warga. ”Meskipun calon anggota legislatif itu dari Noaulu, tetapi tidak membangun, ya kita tinggal saja,” tambahnya.

Jika suku Noaulu masih gigih mempertahankan adat dan tradisi mereka, kondisi berbeda dialami suku Pagu di Kao, Halmahera Utara (Halut). Berbagai pranata dan lembaga adat sudah mulai hilang sejak masa Orde Baru akibat pembangunan yang mengabaikan keragaman dan kekhasan suku-suku Nusantara. Tradisi yang tersisa hanya proses pernikahan, sedangkan dalam berbahasa, warga lebih suka menggunakan bahasa Indonesia dialek Manado.

”Lemahnya lembaga adat membuat daya tawar masyarakat adat rendah saat menghadapi pihak luar,” kata Ketua Forum Adat Soa Pagu, Halut, Yantje Namotemo.

Ketua Lembaga Adat Hibualamo yang menaungi suku-suku di Halut, Zadrak Tongotongo, mengakui, dengan sistem multipartai dan penentuan caleg terpilih dengan suara terbanyak seperti saat ini, suara masyarakat adat akan semakin sulit disatukan. Dukungan masyarakat adat akan terpecah dan terbagi dalam beberapa calon. ”Hal ini akan membuat upaya memperjuangkan kepentingan masyarakat adat semakin sulit,” katanya.

Sistem multipartai degan pendekatan kekeluargaan itu menyulitkan pendidikan politik bagi masyarakat. Masyarakat memilih bukan didasarkan atas kualitas caleg, melainkan atas kedekatan hubungan keluarga.

Bagi Zadrak, meskipun tidak ada anggota DPR dari etnis-etnis yang ada di Halut, yaitu Tobelo, Galela, Kao, dan Loloda dengan 10 subetnisnya, hal itu bukan masalah. Di panggung politik nasional keberadaan suku-suku itu nyaris tak terdengar, tetapi peran dan pengaruh mereka di Maluku Utara cukup diperhitungkan.

”Siapa pun anggota DPR yang mewakili Maluku Utara, mereka tak bisa hanya mengatasnamakan suku ataupun daerah tertentu. Mereka mewakili Malut secara keseluruhan,” katanya.

Walaupun jauh dari perhatian penentu kebijakan nasional dan terbatasnya akses mereka untuk menyampaikan aspirasi, masyarakat Halut mampu membuktikan mereka dapat hidup berdampingan serta saling menenggang rasa dalam keberagaman etnis, budaya, dan agama.(kompas.com)

Dapatkan artikel ini di URL:
http://www.tribunkaltim.co.id/read/artikel/22659

Marhaban Yaa Ramadhan




J
elang ramadhan penuh berkah
sambut dengan suka cita
bukakan hati yang tertutup
cahayakan yang gulita
jalinkan tali silaturahim
maaf lahir batin atas semua khilaf
marhaban ya ramadhan....

semoga ada usia hingga akhir ramadhan
semoga ampunan dan rahmat Allah
senantiasa terlimpah bagi kita semua
amin....

Allaahumma baariklanaa fi Sya’ban wa ballighnaa Ramadhan
Amin.

Selamat menjalankan Ibadah Shaum Ramadhan
Semoga kita dapat menjalankan bulan Ramadhan ini dengan baik serta khusuk untuk mencapai hasil yang maksimal 'TAQWA'
Sucikan hati tuk menyambut bulan suci,
mohon maaf atas segala kesalahan.

Wassalaamu’alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh

Abdurahman Chalik Hatapayo dan keluarga

Selamat menunaikan Ibadah Puasa


Assalamualaikum Wr.Wb

Puji Syukur kita panjatkan kepada allah SWT yang telah memberikan nikmat kepada kita semua, hari demi hari berlalu tak terasa 1 tahun telah berlalu dan kita akan memasuki kembali bulan suci Ramadhan.
Azhar Latua Silawane dan keluarga mengucapkan SELAMAT MENUNAIKAN IBADAH PUASA semoga apa yang kita perbuat di bulan suci membawa berkah kepada kita semua dan Allah membersikan dosa kita di hari kemenangan nanti layaknya seperti bayi yang baru lahir.

Wassalamualaikum Wr.Wb

Oleh: Azhar Latua Silawane

Sabtu, 22 Agustus 2009

Kualitas Pendidikan Kec.Tehoru



Pendidikan merupakan potret karakter suatu Masyarakat atau Bangsa, apabila kita melihat karakter suatu Masyarakat tentang perilaku, sopan santun budaya, ekonomi, politik dan lain sebagainya,maka kita dapatlah menilai seberapa besar kualitas pendidikan yang diperolehnya. Semoga Tehoru bersama generasi penerus memiliki kualitas pendidikan yang memadai, sehingga dengan Pendidikan yang berkualitas mampu membawa Tehoru menjadi lebih baik dan mandiri.

Acara Perlomban

Keceriaan warga masyarakat Tehoru sedang menikmati salah acara 17-san di lapangan dekat masjid Raya Kecamatan Tehoru, merupakan kenikmatan tersendiri dalam suasana kedamain serta kebersamaan.

Suasana Rumah Pantai

Menikmati suasana Tehoru yang di hiasi pemandangan keindahan pantai nan elok duduk di salah satu rumah kelurga merasakan keasikan tersendiri yang jauh dari kebisingan serta kesibukan Ibu kota Jakarta tidaklah mudah terlupakan duduk bersama sama.

Desa Yaputih



Desa Yaputih dan Desa Hatu yang terletak di Teluk Telutih menjadi akes terdekat untuk mencapai Desa Piliana. Untuk mencapai Yaputih dan Hatu harus menggunakan perahu ketinting dari Tehoru, salah satu Kota Kecamatan di Seram Bagian Timur. Maluku. Telaga Ninivala adalah sebuah mata air yang menarik perhatian wisatawan ke Desa Piliana. Jika dilihat sepintas, sumber air Ninivala tersebut seakan-akan tengah mendidih yang bagian tengahnya tumbuh dua pasang pohon.
Hari tertentu, berbagai jenis kupu-kupu tersebut akan menghiasi pelosok-pelosok desa di antara awan-awan yang melintasi rumah-rumah tradisional warga Piliana.
Piliana terkenal dengan kawasan yang selalu dingin dan memiliki banyak spesies kupu-kupu. Banyaknya spesies kupu-kupu tersebut menyebabkan beberapa dari 102 kepala keluarga (KK) yang ada berjualan kupu-kupu yang diawetkan. Salah satu yang menjadi incaran pembeli dari luar Piliana dikenal dengan spesies Goliat. Jenis kupu-kupu ini diyakini paling besar karena memiliki lebar sayap sebesar dua telapak tangan manusia. Kendati demikian mata pencaharian seperti ini belakangan mulai dilarang.
Keindahan desa yang patut dikunjungi ini karena terletak di puncak sebuah bukit yang merupakan bagian dari jalur menuju dari Gunung Binaiya (3.000 meter dpl) dalam kawasan Taman Nasional Manusela.
Salah satu yang membuat Piliana menjadi unik karena keberadaan mata air (telaga) yang disebut dengan Ninivala yang bisa diartikan sebagai Air Putri. Ninivala ini terletak sekitar dua kilometer dari Desa Piliana dan menjadi sumber air bagi beberapa desa pantai Telutih.Saat-saat yang cerah menjadi suasana yang paling disukai anak-anak Desa Piliana untuk bermain. Kehidupan warga Piliana yang tetap menjaga kerukunan juga menjadi sebuah wisata budaya yang menarik
Perjalanan menuju Piliana merupakan sebuah petualangan tersendiri dan cukup berat. Selain hanya jalan setapak, kawasan yang dilalui pun berupa sungai dan batu-batuan.
Keindahan Piliana boleh dikatakan masih sedikit dirasakan para wisatawan. Selain transportasi yang sulit ke kawasan ini, kondisi kehidupan desa Piliana juga boleh dikatakan sangat memprihatikan. Infrastruktur dan fasilitas yang minim ini mendorong Yayasan Tanggul Bencana Indonesia (YTBI) dan Komite Pelaksana Community Based Conflict Management (CBCM) Seram mulai memberi perhatian atas kawasan desa dan warga se-tempat. Dengan terbukanya akses dan dukungan sarana yang memadai diharapkan Piliana menjadi salah satu pusat wisata di Pulau Seram.
Untuk mencapai Piliana hanya bisa dilalui dengan jalan darat dan laut. Dari Ambon, ibu kota Maluku, harus menuju ke Masohi, ibu kota Kabupaten Seran Bagian Timur menggunakan kapal cepat sekitar tiga jam. Perjalanan dilanjutkan ke Tehoru dengan mobil selama tiga jam. Lalu dari Tehoru menyeberang ke Desa Yaputih atau Desa Hatuh di Teluk Telutih menggunakan perahu ketinting.
Dari kedua desa ini perjalanan dilanjutkan dengan jalan kaki ke Piliana sekitar delapan kilometer. Jalan setapak dan mendaki menyebabkan waktu yang dibutuhkan dari Yaputih atau Hatu mencapai tiga jam. Piliana tidak saja menjadi tempat wisata yang menarik, tetapi juga perjalanannya adalah sebuah petualangan tersendiri sembari berolahraga. [SP/Heri Soba]


Photo Pantai Tehoru








Minggu, 16 Agustus 2009

Indahnya Tehoru Bersama keluarga




Tehoru, Maluku Tengah



Tehoru adalah sebuah kecamatan di Kabupaten Maluku Tengah, Maluku, Indonesia. Terdapat pelabuhan rakyat di desa tehoru. Merupakan salah satu akses masuk ke Taman Nasional Manusela yaitu di desa Yaputih. Akses ke Masohi juga dapat ditempuh melalui jalan darat, cuma karena jalan trans seram yang menghubungkan Masohi (ibukota kabupaten) dengan Tehoru masih jauh dari layak terutama banyak sungai yang tidak memiliki jembatan maka jarak sekitar 100 Km Masohi - Tehoru ditempuh dalam jangka waktu 3 jam.