Kompas menurunkan tulisan tentang suku Noaulu (baca: naulu), yang hidup di pulau Seram, Maluku Tengah. Saya pun jadi teringat perjalanan saya ke pulau ini tahun 2005 silam. Ya, sehari bersama orang-orang Noaulu, yang identik dengan ikat kepala merah mereka. Lantaran, cerita tentang seorang pemuda Noaulu yang bisa menembus seleksi menjadi anggota Kopassus (baret merah), saya pun ‘memelesetkan’ sebutan suku ini dengan sebutan suku baret merah.
Izinkan saya mengutip sebagian kecil dari paparan yang ditulis Kompas :
Nama suku Noaulu di Pulau Seram, Maluku, mencuat pada 2005 setelah polisi mengungkap kasus mutilasi yang dilakukan salah satu marga suku itu di Desa Nuanea, Amahai, Maluku Tengah.Bagian kepala, jantung, lidah, dan jari-jari dua korban akan dijadikan syarat peresmian perbaikan rumah adat baru marga Sounawe.
Dalam sidang di Pengadilan Negeri Masohi terungkap bahwa para pelaku yang dijatuhi hukuman mati dan menjadi hukuman seumur hidup dalam proses banding itu tidak bisa berbahasa Indonesia. Mereka juga tak mengetahui bahwa ada aturan hukum yang melarang pembunuhan manusia.
Tokoh masyarakat Noaulu yang juga Kepala Dusun Negeri Lama, Desa Sepa, Maluku Tengah, Marwai Leipary (25), Januari lalu, mengakui tradisi penggunaan kepala manusia sebagai persembahan pembangunan rumah adat memang ada sejak zaman dulu. Namun, aturan itu sudah dihapus oleh para tokoh adat pada 1970-an dan menggantinya dengan piring kuno atau kepala binatang kuskus.”Aturan itu sudah dihapus karena sekarang sudah berlaku hukum positif. Kalau yang terjadi dulu itu (kasus 2005 di Nuanea) adalah karena ketidaktahuan mereka,” ujarnya.
Permukiman suku Noaulu di Nuanea memang terpisah dengan suku Noaulu lain yang ada di Sepa. Jika di Nuanea hanya ada satu kelompok masyarakat, di Sepa ada lima kelompok masyarakat Noaulu yang terbagi dalam lima perkampungan, yaitu Negeri Lama, Bonara, Hauwalan, Yalahatan, dan Rohua.
Jumlah populasi suku Noaulu diperkirakan hanya ribuan orang. Negeri Lama hanya memiliki 78 keluarga yang setara dengan 271 jiwa.Ketidakmampuan berbahasa Indonesia membuat mereka juga terisolasi dari berbagai informasi pembangunan. Mereka juga cenderung eksklusif demi menjaga tradisi leluhur.Suku Noaulu yang ada di Sepa lebih terbuka karena permukiman mereka cenderung bersatu dengan warga desa lain. Tempat tinggal mereka juga terletak tak jauh dari Jalan Trans-Seram yang menghubungkan Masohi-Tehoru. Warga juga telah mengenal televisi dan berpendidikan lebih baik daripada saudara mereka di Nuanea.
Nama Noaulu didasarkan atas tempat awal permukiman mereka di hulu (ulu) Sungai Noa di jantung Pulau Seram. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, umumnya mereka berkebun dan berburu di hutan dengan menggunakan panah, tombak, dan sumpit.
Ciri utama masyarakat Noaulu adalah ikat kepala berwarna merah yang digunakan pria dewasa. Ikat kepala yang disebut kain berang itu tidak boleh dilepaskan dalam kondisi apa pun, kecuali saat mandi. Adapun perempuan yang telah bersuami wajib mengenakan kain atau selendang di pinggangnya.
Warga umumnya menganut agama yang mereka sebut agama suku Noaulu. Kepercayaan ini diwariskan oleh para leluhur dan tokoh adat melalui tuturan. Pemerintah umumnya memasukkan kepercayaan mereka itu dalam kelompok agama Hindu meskipun warga menolaknya.Keterbukaan warga Noaulu di Sepa membuat mereka lebih terbuka menerima agama lain, baik Islam maupun Kristen. Sebagian warga yang berpindah agama biasanya disebabkan oleh pernikahan dengan warga luar suku Noaulu.
Satu hal yang paling berkesan selama saya berada di sana, di antaranya adalah tentang adat kebiasaan persembahan kain merah bagi siapapun tamu yang ingin berkunjung ke desa ini–dan berkehendak bisa diterima oleh tetua suku. Entah, apakah kebiasaan itu masih berlaku hingga sekarang. Tapi, yang jelas, dulu saya membawa sehelai kain merah untuk mereka.
Benar saja, sebagai tamu, saya merasa begitu dihormati. Berbagai informasi tentang suku ini pun mengalir deras keluar dari seorang tokoh suku (sayang, saya lupa namanya. Oh, ya, saya juga sempat mengabadikan beberapa foto.
http://kalipaksi.com/2009/02/26/suku-noaulu-suku-baret-merah/