Sabtu, 05 September 2009

Taman Nasional Manusela

Taman Nasional Manusela merupakan kawasan konservasi yang ditetapkan dengan Surat Pernyataan Menteri Pertanian No.736/Mentan/X/1982 tanggal 14 Oktober 1982 dengan luas 189.000 Ha, SK. Menhut No. 281/Kpts-VI/1997 tanggal 23 Mei 1997 dan merupakan taman nasional tipe C sesuai SK. Menhut No. 6186/Kpts-IV/2002 tanggal 10 Juni 2002. Pada tanggal 1 Pebruari 2007 statusnya menjadi taman nasional tipe B berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan No. P.03/Menhut-II/2007. Kawasan ini merupakan gabungan dari 2 cagar alam yaitu Cagar Alam Wae Nua dan Cagar Alam Wae Mual dan ditambah dengan perluasan wilayah Cagar Alam Wae Nua dan Cagar Alam Wae Mual. Taman Nasional Manusela (TNM) secara geografis terletak antara 129o9'3"- 129o46'14"BT dan 2o48'24"- 3o18'24"LS. Secara administratif kawasan TNM termasuk di wilayah Kecamatan Seram Utara yang berkedudukan di Wahai dan Kecamatan Seram Selatan di Tehoru, Kabupaten Maluku Tengah, Propinsi Maluku.

Berdasarkan klasifikasi iklim menurut Schmid dan Ferguson kawasan Taman Nasional Manusela termasuk dalam daerah dengan tipe iklim A dengan nilai Q 27,9 . Rata-rata curah hujan tahunan berkisar antara 1500-2500 mm dengan temperatur udara 25-35ÂșC dengan kelembaban udara rata-rata 82,90 - 93,50%.

Kawasan TNM berbatasan dengan :

  • Sebelah utara, berbatasan dengan garis pantai sebelah barat Desa Pasahari, Tanjung Mual sampai Labuhan menuju ke selatan Desa Soka menyusuri anak sungai Wai Teluarang menuju Desa Roho, Sawai dan mengikuti garis pantai ke arah barat menuju Desa Saleman.
  • Sebelah Timur, membentang mulai dari Desa Lairuku di Kawasan Seram Selatan ke utara menuju Desa Manusela, Maraina, Kanikeh kembali ke arah timur menuju Desa Hatuolo menyusuri sungai Wae Isal sampai ke Desa Pasahari.
  • Sebelah selatan, berbatasan dengan Desa Laimu, Manoaratu, Tehoru, Mosso, Yaputih sampai ke Desa Saunulu.
  • Sebelah barat, berbatasan dengan Desa Saunulu dan Tanjung Mual di sebelah selatan terus ke arah barat laut menyusuri Wae Kawa sampai Desa Saleman.

Taman Nasional Manusela secara ekologis memiliki tujuh tipe vegetasi, yaitu berturut-turut dari pantai ke puncak gunung Binaya adalah sebagai berikut:

  • Hutan mangrove (mangrove formation)

Vegetasi mangrove merupakan jalur sempit, letaknya tepat di belakang pantai berpasir yang agak tinggi di sepanjang pantai utara. Perkembangan terbaik terdapat di sepanjang Tanjung Mual dan Muara Wai Isal.

Jenis tumbuhan dominan antara lain Tancang (Sonneratia alba), Bakau-bakauan (Rhyzopora acuminata, Rhyzopora mucronata), Bruguiera sexangula, Api-api ( Avicenia sp) dan Nipah (Nypa fructicans).

  • Vegetasi pantai ( beach formation)

Vegetasi di Taman Nasional Manusela berkembang dengan baik di sepanjang pantai utara yang berpasir. Di daerah pesisir bagian selatan (walaupun di luar kawasan) sudah jarang ditemukan vegetasi pantai alami. Jenis-jenis tumbuhan yang dominan adalah Ipomea pescaprea, Svinivax litoralis, Terminalia cattapa, Pandanus sp, Casuarina equisetifolia .

  • Hutan rawa dataran rendah (lowland swamp forest)

Formasi ini merupakan kelompok-kelompok kecil yang perkembangannya kurang baik, letaknya di belakang hutan mangrove di pantai Utara. Jenis-jenis tumbuhan yang dominan adalah Nauclea sp, Ficus nodosa, Baringtonia racemosa, Eugenia sp, Callophyllum soulatri, Callophyllum inophyllum, Alstonia scholaris, Anthocephalus cadamba. Daerah ini, khususnya di sekitar Wai Isal dan Wai Mual. Pada musim kemarau yang berkepanjangan daerah ini sangat rawan kebakaran.

  • Vegetasi tebing sungai (riverbank vegetation)

Tipe vegetasi ini perkembangannya sangat baik di sepanjang sungai-sungai utama: Wai Mual dan lembah Wai Kawa. Jenis-jenis yang ditemukan di daerah ini antara lain: benuang ( Octomeles sumatrana), Ficus sp, Litsea sp, Eugenia spp, Diospyros sp, Vitex gofasus dan Alstonia spectabilis.

  • Hutan hujan dataran rendah (lowland rain forest)

Tipe vegetasi ini menutupi sebagian besar dataran rendah Wai Mual dan lembah wai Kawa di bagian utara sampai dengan ketinggian 500 meter dpl. Jenis-jenis penyusunnya antara lain meranti (Shorea seilanica, Shorea montigena), kayu kapur (Hopea spp), kayu raja (Koompassia malaccensis), kenari (Canarium spp), bintanggur (Callophyllum inophyllum), merbau (Intsia bijuga), pala hutan (Myristica succdaea, Myristica aromatea), dan Podocarpus spp.

  • Hutan hujan pegunungan (mountain rain forest)

Tipe vegetasi ini dijumpai di seluruh pegunungan Murkele, dan gunung Kobipoto, pada ketinggian antara 500 - 1.500 mdpl. Jenis-jenis yang ditemukan adalah Agathis alba, Agathis phillipinensis, Casuarina montana, Duabanga moluccana, Diospyros sp, Pterocarpus blumeii.

Hutan hujan pegunungan juga kaya akan jenis-jenis rotan dan liana, tetapi secara umum dapat dikatakan hutannya dengan tumbuhan bawahnya yang jarang. Pada tempat yang lebih tinggi tumbuhan bawahnya bertambah dengan perdu dari jenis Impatens sp, Dianella sp, Brumania sp, Dacrydium sp, Phyllocladus sp, dan Podocarpus sp

  • Hutan lumut (alpine/moss forest)

Hutan lumut terletak di atas ketinggian 1.500 meter dpl, dan ditandai dengan pohon-pohonnya yang berukuran kecil dengan berbagai bentuk yang tertutup dengan lumut dan paku-pakuan yang biasanya tumbuh di atas tanah atau sebagai epifit. Tumbuhan utama antara lain Rhododendron sp dan Angiostris sp.

Potensi Flora

Kekayaan flora yang dimiliki TNM berupa 187 jenis/genus dari 55 famili diantaranya 97 jenis anggrek dan 598 jenis paku-pakuan (pakis), dimana terdapat jenis endemik paku binaya (Cyathea binayana).

Jenis vegetasi yang ada di TNM mPapua. Jenis flora zona Australia yang terdapat dalam kawasan ini antara lain Eucalyptus spp., sedangkan jenis flora khas Asia meliputi Shorea selanica (Dipterocarpacea) yaitu jenis meranti yang pertumbuhannya paling timur Indonesia, nyamplung (Calophyllum inophyllum), langsat hutan (Aglaia argentea), durian (Durio spp.) dan lain-lain.

Jenis-jenis vegetasi yang ada di TNM terdiri merupakan keturunan flora Asia/Sulawesi yang mempunyai beberapa unsur Australia-dari hutan mangrove dan hutan pantai (0-5 m dpl), hutan dataran rendah (5-100 m dpl), hutan hujan primer dataran rendah (100-500 m dpl), hutan hujan primer pegunungan (500-2.500 m dpl), lumut (2.500-2.600 m dpl).

Vegetasi hutan mangrove ditandai oleh jenis pedada (Sonneratia alba), bakau (Rhizophora apiculata), bidu (Bruguiera sexangula), api-api (Avicennia officianalis) dan nipah (Nypa fruticans). Vegetasi ini letaknya tepat di belakang pantai berpasir yang agak tinggi dan merupakan jalur sempit. Perkembangan terbaiknya berada di sekitar tanjung Wae Mual dan sungai Wae Isal. Dibelakang jalur mangrove pada rawa dataran rendah terdapat jenis-jenis butun darat (Barringtonia recemosa), beringin (Ficus nodosa) dan pulai (Alstonia scholaris).

Perkembangan terbaik vegetasi hutan pantai di sepanjang pantai bagian utara dengan jenis-jenis yang mendominir antara lain tapak kuda/katang-katang (Ipomoea pescaprae), rumput jara-jara (Spinifex littoralis), ketapang (Terminalia catappa), pandan (Pandanus sp.), dan cemara laut (Casuariana equisetifolia).

Potensi Fauna

Pulau Seram hanya memiliki delapan jenis mamalia terestrial yang asli Seram terdiri dari tiga jenis Marsupial, yaitu bandicoot/mapea (Rhyncomeles prattorum), Kusu/Kuskus (Spilocuscus maculatus dan Phalanger orientalis) dan lima jenis Rodensia, yaitu Melomys aerosus, Melomys fulgens, Melomys fraterculus, Rattus ceramicus dan Rattus feliceus.

Di Taman Nasional Manusela dapat dijumpai jenis mamalia yang lebih besar seperti Rusa (Cervus timorensis), babi hutan (Sus scrofa dan S. Celebebsis), anjing liar (Canis familiar), kucing liar (Felis catus) dan musang (Paradoxurus hermaphroditus, Vivera tangulunga).

Ada 26 jenis kelelawar di kawasan Taman Nasional Manusela antara lain Rousettus amplixicaudus, Pteropus melaopogon, Pteropus ocularis dan Macroglossus minimus (Macdenald et al., 1993).

Penelitian tentang burung di pulau Seram sudah dimulai sejak abad 17. Bowler dan Taylor (1993) menguraikan dengan jelas perkembangan penelitian tersebut. Pada saat ini kekayaan jenis burung Seram sudah diketahui sebanyak 196 species burung, 124 spesies diantaranya merupakan jenis menetap sedangkan 72 spesies adalah jenis burung migran. Sebanyak 13 jenis diantaranya merupakan jenis endemik Seram.

Birdlife International Indonesia Programme telah menetapkan Daerah Burung Endemik (DBE) Seram yang mencakup pulau Seram dan pulau-pulau kecil di sekitarnya (Ambon, Saparua, Boano, dan Haruku). 30 Jenis merupakan burung dengan sebaran terbatas, yakni burung yang penyebaran berbiaknya kurang dari 50.000 km², 14 diantaranya endemik (Sujatnika et al., 1995). Jenis burung sebaran terbatas di pulau Seram ada 28 jenis, dimana 8 jenis diantaranya adalah jenis burung endemik. Kasturi tengkuk ungu (Lorius domicella) dan Kakatua Maluku (Cacatua moluccensis) kondisinya sekarang terancam punah, karena adanya penangkapan untuk diperdagangkan (Shannaz et al., 1995). selain dua jenis di atas, terdapat jenis burung endemik lain seperti Diacrum vulneratum, raja udang (Halycon lazuli, H.sancta dan Alcedo atthis), Nuri Raja/Nuri Ambon (Alisterus amboinensis), Nuri Kepala Hitam (Lorius domicella), burung madu besar (Philemon subcorniculatus), serta Kasuari (Casuarius casuarius) .

Studi tentang reptilia di pulau Seram masih jarang. Penelitian yang dilakukan pada Ekspedisi Operation Raleigh di kawasan Taman Nasional Manusela menemukan 46 jenis reptilia, terdiri dari kura-kura air tawar (1 jenis), penyu laut (4 jenis), buaya (1 jenis), kadal (24 jenis) dan ular (17 jenis) (Edgar dan Lilley, 1993).

Tingkat endemisme reptil di pulau Seram termasuk rendah, hanya satu jenis kadal endemik Seram, yaitu Dibamus seramensis. Terdapat pula Soa-soa (Hydrosaurus amboinensis), Dua jenis ular Calamaria ceramensis dan Thyphlops kraai walaupun sedikit ditemukan juga di pulau-pulau sekitarnya. Buaya (Crocodylus porousus) sering dijumpai di sungai Wae Toluarang dan Wae Mual.

Dalam kawasan Taman Nasional Manusela terdapat 8 jenis amphibia yang tergolong dalam famili Ranidae, Hylidae dan Microhylidae. Jenis-jenis yang termasuk dalam famili :

  • Ranidae adalah Platymantis papuensis, Rana modesta dan Rana grisea ceramensis
  • Hylidae adalah Litoria vagabunda, Litoria sp. (Bicolor group), Litoria amboinesis, Litoria infrafenate
  • Microhylidae adalah Phrynomantis fusca

Jenis kupu-kupu yang terdapat dalam Taman Nasional Manusela diperkirakan sebanyak 90 jenis (FAO, 1981), antara lain famili :

  • Papilionidae yaitu Ornithoptera priamus, Ornithoptera goliathorocus, Papilio ulysses, Papilio fuscusfuscus, Grafthium stresemani.
  • Pieridae yaitu Si cantik Delias manuselensis, Delias sp., Hebomoia leucippe leucippe, Valeria jobaea eisa, Enaema candida candida.
  • Danidae yaitu Idea idea, Danaus chovsippus, Danaus hanata nigra, Eupolea ciimena melina, Eupolea sp.

Ada beberapa jenis kupu-kupu endemik Seram yaitu Epimastidia staudingeri dan Hypochrysops dolechallii

Potensi biota perairan baik di sungai maupun di air laut belum dilakukan penelitian secara mendetail, walaupun secara umum dapat dikatakan bahwa di sepanjang pantai utara antara Sasarata sampai dengan Pasahari maupun di Tanjung Sawai memiliki potensi yang sangat baik.

Dengan demikian maka perlu ditargetkan adanya suatu penelitian terpadu mengenai potensi perairan, sehingga dapat dilakukan suatu kajian secara lengkap.

Kondisi Topografi

Kawasan Taman Nasional Manusela yang mencakup 20% dari keseluruhan luas pulau Seram, keadaan topografinya sebagian besar bergelombang dan lahannya merupakan pegunungan kapur. Topografi yang ada ini mulai dari dataran(dataran Mual) di bagian utara, bergelombang sedang- berbukit sampai bergunung-gunung dengan ketinggian 0 - 3027 meter di atas permukaan laut.

Kemiringan berkisar antara 30 - 60 % mulai dari gunung Markele sampai gunung Binaya yang merupakan puncak tertinggi. Sebagian besar kawasan ini memiliki kelerengan yang sangat terjal dengan lembah-lembah yang dalam. Bagian yang relatif landai terletak di bagian utara sekitar Wahai dan Sasarata serta bagian selatan di daerah Hatumete, Hatu dan Woke.

Berdasarkan ketinggian tempat di atas permukaan laut, kawasan Taman Nasional Manusela dapat dibedakan menjadi empat kategori, yaitu:

a. Dataran rendah di bawah ketinggian 500 meter dpl
b. Dataran tinggi antara 500 - 1500 meter dpl
c. Daerah pegunungan dengan ketinggian antara 1500-2500 meter dpl
d. Zona sub alpin dengan ketinggian antara 2500 - 3027 meter dpl

Potensi objek wisata

TNM dikenal sebagai objek wisata alam dengan daya tarik tersendiri dengan pemandangan alam yang indah dan menarik serta topografi berbukit-bukit di antaranya tepi Markele, lembah Manusela, tepi Kobipoto, dataran Mual sebelah utara dan lembah Wae Kawa di sebelah selatan. Atraksi yang bisa dinikmati adalah menjelajah hutan, panjat tebing, pengamatan satwa/tumbuhan.

Kawasan TNM banyak memiliki keunikan dan kekhasan, seperti lembah Manusela dengan pemandangan alamnya yang menarik dan keadaan iklimnya yang segar dan menyenangkan, lembah Piliana yang kaya akan jenis kupu-kupu, Sawai dengan aneka karang lautnya yang indah sangat cocok untuk kegiatan snorkeling dan diving disamping itu di daerah Sawai dan sekitarnya juga dapat dinikmati pemandangan tebing sawai yang indah atau wisata tirta yang dapat dinikmati dengan menggunakan fasilitas kapal cepat dan longboat milik Balai TN. Manusela. Pusat informasi TN. Manusela juga terdapat di Negeri Sawai tepatnya di sekitar Dusun Masihulan. Pengelolaan wisata alam di Sawai dan sekitarnya melibatkan multipihak seperti LSM (Yayasan Wallacea yang mengelola PRS Masihulan), Pemerintahan Negeri Sawai sebagai perwakilan Pemerintahan Daerah Maluku dan pihak masyarakat atau pengusaha yang berperan aktif dalam mengembangkan kegiatan wisata alam di daerah Sawai dan sekitarnya , air panas di Tehoru serta kegiatan safari rusa di padang Pasahari.

Di kawasan TNM banyak ditemukan bunga anggrek, bunga bangkai (Rafflesia sp.), hutan yang khas dan indah, vegetasi alpin dan pakis endemik yang sangat disukai rusa karena merupakan pakan rusa yang enak. Selain itu, TNM dapat dimanfaatkan sebagai sarana/tempat penelitian lapangan karena keanekaragaman flora dan fauna langka dan endemik, penelitian farmasi (jenis tanaman obat-obatan) serta penelitian jenis tanaman yang merupakan makanan alternatif bagi masyarakat.

Selain itu, di luar kawasan TNM pada daerah penyangga pada beberapa objek wisata seperti penginapan terapung di Teluk Sawai, budi daya mutiara, sumber air panas (Geiser) di Tehoru, jembatan tali dan menara pengintai secara alam dan tali-temali hutan di Piliana dan Masihulan, serta wisata budaya berupa adat istiadat kebudayaan dan upacara suku asli Pulau Seram di sekitar TNM.

Musim kunjungan terbaik adalah bulan Mei s.d Oktober setiap tahunnya.

Aksesibilitas:

Lokasi TNM dapat dicapai melalui Wahai dan Saleman dari arah pantai utara atau melalui Tehoru. Alternatif-alternatif rute perjalanan menuju TNM dapat diuraikan sebagai berikut:

  • Dari Ambon ke Saleman-Wahai dapat ditempuh dengan menggunakan kapal motor yang memakan waktu 24 jam. Kapal motor ini memiliki jadwal perjalanan 3 kali seminggu. Perjalanan dari Wahai ke lokasi taman nasional dapat ditempuh dengan jalan kaki.
  • Lewat pantai selatan, TNM ditempuh melalui kota Ambon ke Tehoru-Saunulu-Mosso dengan kapal motor yang memakan waktu 9 jam. Jadwal kapal motor berjalan adalah 4 kali dalam seminggu. Perjalanan selanjutnya ke lokasi taman nasional hanya dapat ditempuh dengan jalan kaki.
  • Perjalanan lewat darat dapat dilakukan dari Ambon ke Tulehu dengan waktu tempuh 45 menit. Selanjutnya dari Tulehu ke Amahai dapat dicapai dengan long boat cepat yang memerlukan waktu 1 jam 45 menit. Perjalanan dari Amahai ke Tehoru dilakukan lewat jalan darat selama 3 jam selanjutnya diteruskan dengan speed boat ke Saunulu/Mosso selam 30-60 menit. Pengunjung dapat pula memilih rute perjalanan darat menuju taman nasional bagian utara. Rute ini ditempuh dari Amahai ke Saleman melewati Masohi yang membutuhkan waktu 3 jam dilanjutkan dengan speed boat menuju Wahai yang memakan waktu 2 jam.
  • Perjalanan memasuki TNM dari Saunulu/Mosso dilakukan dengan jalan kaki melalui jalan setapak dan mendaki tebing-tebing pegunungan sehingga pemandu dan pembawa barang sangat diperlukan.
  • Dari sisi utara, kawasan TNM dapat ditempuh melalui jalan trans-Seram dari Wahai ke Sasarata. Rute ini dapat dilalui roda empat. Selanjutnya dari Sasarata menuju kawasan taman nasional bagian tengah/selatan dapat ditempuh dengan jalan kaki menuju jalan setapak yang menghubungkan Kaloa-Hatuolo Maraina, dan Manusela. Perjalanan ini memerlukan waktu kurang lebih 2 hari.
  • Apabila pengunjung membawa kendaraan roda empat, perjalanan dilakukan dari Ambon ke Liang dengan waktu tempuh ± 1,5 jam. Selanjutnya dari Liang ke Kairatu ditempuh selama ± 2 jam dengan menggunakan ferry. Dari Kairatu ke Saka ditempuh dengan jalan darat selama ± 3,5 jam.
  • Rute terbaru untuk menuju Taman Nasional bagian utara yaitu dari Ambon bisa langsung menggunakan pesawat Merpati jenis twin otter Menuju ke Wahai, dari Wahai ke Sasarata dan selanjutnya perjalanan dilakukan dengan jalan kaki menuju kawasan.

Informasi dan Perijinan :
Balai Taman Nasional Manusela
Jalan Kelang no 1 kotak pos 09 Masohi 97511 Maluku Tengah
Telpon /fax (0914) 22164

Rabu, 02 September 2009

Cidaku Cakalele & Belanda KNIL



Jakarta - Gugus Lease tak henti-henti membuat 'keramaian'. Serakan pulau kecilnya yang terdiri dari Banda, Ambon, Saparua, Ina, Seram, Buru, dan juga Sanana itu sepanjang waktu bergemuruh. Tak terkecuali dengan unjuk diri tarian cakalele yang 'mencoreng' kedaulatan negara.

Tarian cakalele sebenarnya bukan hanya milik orang yang tinggal di Pulau Ambon. Dia merupakan tarian 'rakyat Lease' yang tersebar di beberapa pulau. Tarian ini symbol heroisme, sikap ksatria, dan lambing kesaktian. Bahkan bagi etnis Suku Naulu maupun Alifuru yang tinggal di Pulau Ambon dan Pulau Seram, tarian ini kandungan magisnya sangat kental manakala disertai dengan ritus pegu dan upacara pataheri.

Pegu merupakan sebuah ritual yang harus dijalankan laki atau perempuan yang ingin memiliki kekebalan. Dia harus menjalankan laku itu di 'rumah batu-batu' yang kini tinggal kenangan, yang terletak di Teluk Saleman. Ritus ini selain mensyaratkan 'laku' berat, juga wajib mentato seluruh wajah dengan gambar kelelawar.

Jika ritus itu sudah dijalankan, maka para pelaku ritus itu meyakini memiliki kekuatan supranatural. Mereka menguasai ilmu perang, psikologi perang, fanatisme sebagai mesin perang, serta siap menjadi seorang panglima di medan laga. Sedang pataheri bagi anak-anak Suku Naulu merupakan simbol kedewasaan. Upacara ini dijalani mereka yang sudah akil balik. Mereka harus 'dibuang' ke hutan. Belajar berlari sekencang kijang, melompat dari pohon ke pohon selincah kusu (tupai), serta bertahan hidup di belantara sebelum mempelajari asal-usul suku. Jika kepala suku menyatakan mereka lulus, anak-anak ini akan mendapatkan selembar kain merah yang disebut cidaku. Kain ini dililitkan di kepala sebagai lambing 'kehebatan' dan kedewasaan.

Konon ritus ini yang mengilhami Korp Baret Merah Kopassus berbaret sama. Tarian cakalele dengan cidakunya itu juga menyebar sampai ke Kepulauan Kei yang terletak di bawah Kepala Burung (Pulau Irian). Di Pulau Dullah, misalnya, ada sepasang patung yang disebut Yot Tomat. Dalam bahasa setempat, itu artinya : peringatan terhadap umat. Disebut begitu, karena orang-orang yang tinggal di kawasan ini sebenarnya masih basudara (sesaudara). Dia dibuang ke daerah itu akibat pemberontakan yang dilakukannya di jaman Belanda. Dia tidak mau lepas dari asal-usulnya, dan itu dituangkan dalam 'patung kenangan' yang kemudian dikultuskan. Dengan gambaran antropologi simbol (metafisis) di atas, maka 'kebudayaan Lease' merupakan kebudayaan yang amat tinggi. Kebudayaan ini memberi garansi terhadap kepatuhan dan patriotisme terhadap bangsa dan negaranya.

Tapi kenapa kemudian cakalele itu akhirnya dipakai sebagai 'alat' untuk mempermalukan bangsa ini di depan presidennya dan tamu asing negara? Sebenarnya ada satu benang merah yang bisa dituding, dan menjadi alasan 'pemberontak' Rakyat Maluku Selatan (RMS) yang 'lemah' itu laten unjuk 'keperkasaan'. Itu tak lepas dari masih banyaknya 'penduduk Belanda' yang tinggal di Ambon. Mereka pensiunan yang mendapat gaji bulanan dari Belanda. Mereka adalah orang-orang kaya di Ambon. Mereka bebas pulang pergi Indonesia - Belanda, karena orang-orang KNIL itu, penduduk setempat yang 'mbalelo' menjadi tentara Belanda, ingin menghabiskan sisa umurnya di tanah kelahirannya. Mereka yang patut disebut sebagai 'onak' dalam daging negeri ini dibanding bangsa lain. Sebab, mereka yang dalam tabel pemerintah setempat masuk kategori sebagai turis itu loyalitasnya sudah diragukan sejak negeri ini diproklamasikan. Apalagi ide pendirian RMS sendiri juga berasal dari negeri yang sama.

Keterangan Penulis: Djoko Su'ud Sukahar, pemerhati budaya, tinggal di Jakarta. Alamat e-mail jok5000@yahoo.com. (Djoko Su'ud Sukahar/)

Tetap update informasi: http://m.detik.com

Naulu

Suku Naulu

Hidup di Petuanan Negeri sepa, merupakan salah satu suku terasing di Pulau Seram, tepatnya di Dusun Bonara, yang berjarak 35 km2 dari Pusat kota Kecamatan. Tradisi suku ini sama dengan suku wuahulu di Kecamatan Seram Utara. Tradisi Penamou dan pataheri juga menjadi tradisi suku Naulu. Tradisi Pataheri, yaitu upacara adat bagi pria yang sudah dewasa, dimana pria tersebut harus mengenakan cidaku (celana pendek) dan ikat kepala, tetapi ikat kepala suku ini berwarna merah/berang. Berbeda dengan ikat kepala suku Wuahulu di kecamatan Seram Utara. Upacara adat ini berlangsung selama 1 bulan, sedangkan pria dewasa tadi harus mengenakan cidaku dan berang selama lima hari, serta tidak diperbolehkan menggunakan pedang/parang untuk kebutuhan apapun. Tradisi Penamou, yaitu bagi wanita yang datang bulan/haid, pertanda telah memasuki usia dewasa sehingga harus dikarantinakan dan tidak berkomunikasi dengan lingkungannya, demikian halnya bagi wanita yang mengandung. Wanita dewasa ini akan dikarantinakan pada rumah kecil (2 x 2 m2) berdinding atap daun rumbia, dan berlantai tanah. Pada saat upacara penamou dilakukan, dilarang untuk dilewati/disinggahi oleh lelaki. Tradisi ini tetap eksis hingga kini. Rumah karantina ini di sebut : Posune. Kalau di Daerah Denpasar (Bali), tradisi pemakaman dengan cara mayatnya diletakkan pada susunan kayu setinggi (1 m2) dari Lantai kemudian mayat tersebut di bakar (Ngaben), maka tradisi pemakaman Suku Naulu ini agak berbeda, dimana mayat yang diletakkan pada susunan kayu yang tingginya (2 m2) itu, tetapi mayat tersebut tidak di bakar, melainkan di tinggalkan. Tempat pemakaman seperti ini letaknya di dalam hutan yang jaraknya jauh dari pusat Negeri, serta jarang dikunjungi oleh masyarakat. Selain itu, prosesi pengantaran mayat ke tempat pamakaman hanya dilakukan khusus oleh kaum pria.

Sabtu, 29 Agustus 2009

Suku Naulu Suku Baret Merah

http://kalipaksi.com/2009/02/26/suku-noaulu-suku-baret-merah/

Kompas menurunkan tulisan tentang suku Noaulu (baca: naulu), yang hidup di pulau Seram, Maluku Tengah. Saya pun jadi teringat perjalanan saya ke pulau ini tahun 2005 silam. Ya, sehari bersama orang-orang Noaulu, yang identik dengan ikat kepala merah mereka. Lantaran, cerita tentang seorang pemuda Noaulu yang bisa menembus seleksi menjadi anggota Kopassus (baret merah), saya pun ‘memelesetkan’ sebutan suku ini dengan sebutan suku baret merah.

Izinkan saya mengutip sebagian kecil dari paparan yang ditulis Kompas :

Nama suku Noaulu di Pulau Seram, Maluku, mencuat pada 2005 setelah polisi mengungkap kasus mutilasi yang dilakukan salah satu marga suku itu di Desa Nuanea, Amahai, Maluku Tengah.Bagian kepala, jantung, lidah, dan jari-jari dua korban akan dijadikan syarat peresmian perbaikan rumah adat baru marga Sounawe.

Dalam sidang di Pengadilan Negeri Masohi terungkap bahwa para pelaku yang dijatuhi hukuman mati dan menjadi hukuman seumur hidup dalam proses banding itu tidak bisa berbahasa Indonesia. Mereka juga tak mengetahui bahwa ada aturan hukum yang melarang pembunuhan manusia.

Tokoh masyarakat Noaulu yang juga Kepala Dusun Negeri Lama, Desa Sepa, Maluku Tengah, Marwai Leipary (25), Januari lalu, mengakui tradisi penggunaan kepala manusia sebagai persembahan pembangunan rumah adat memang ada sejak zaman dulu. Namun, aturan itu sudah dihapus oleh para tokoh adat pada 1970-an dan menggantinya dengan piring kuno atau kepala binatang kuskus.”Aturan itu sudah dihapus karena sekarang sudah berlaku hukum positif. Kalau yang terjadi dulu itu (kasus 2005 di Nuanea) adalah karena ketidaktahuan mereka,” ujarnya.

Permukiman suku Noaulu di Nuanea memang terpisah dengan suku Noaulu lain yang ada di Sepa. Jika di Nuanea hanya ada satu kelompok masyarakat, di Sepa ada lima kelompok masyarakat Noaulu yang terbagi dalam lima perkampungan, yaitu Negeri Lama, Bonara, Hauwalan, Yalahatan, dan Rohua.

Jumlah populasi suku Noaulu diperkirakan hanya ribuan orang. Negeri Lama hanya memiliki 78 keluarga yang setara dengan 271 jiwa.Ketidakmampuan berbahasa Indonesia membuat mereka juga terisolasi dari berbagai informasi pembangunan. Mereka juga cenderung eksklusif demi menjaga tradisi leluhur.Suku Noaulu yang ada di Sepa lebih terbuka karena permukiman mereka cenderung bersatu dengan warga desa lain. Tempat tinggal mereka juga terletak tak jauh dari Jalan Trans-Seram yang menghubungkan Masohi-Tehoru. Warga juga telah mengenal televisi dan berpendidikan lebih baik daripada saudara mereka di Nuanea.

Nama Noaulu didasarkan atas tempat awal permukiman mereka di hulu (ulu) Sungai Noa di jantung Pulau Seram. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, umumnya mereka berkebun dan berburu di hutan dengan menggunakan panah, tombak, dan sumpit.

Ciri utama masyarakat Noaulu adalah ikat kepala berwarna merah yang digunakan pria dewasa. Ikat kepala yang disebut kain berang itu tidak boleh dilepaskan dalam kondisi apa pun, kecuali saat mandi. Adapun perempuan yang telah bersuami wajib mengenakan kain atau selendang di pinggangnya.

Warga umumnya menganut agama yang mereka sebut agama suku Noaulu. Kepercayaan ini diwariskan oleh para leluhur dan tokoh adat melalui tuturan. Pemerintah umumnya memasukkan kepercayaan mereka itu dalam kelompok agama Hindu meskipun warga menolaknya.Keterbukaan warga Noaulu di Sepa membuat mereka lebih terbuka menerima agama lain, baik Islam maupun Kristen. Sebagian warga yang berpindah agama biasanya disebabkan oleh pernikahan dengan warga luar suku Noaulu.

Satu hal yang paling berkesan selama saya berada di sana, di antaranya adalah tentang adat kebiasaan persembahan kain merah bagi siapapun tamu yang ingin berkunjung ke desa ini–dan berkehendak bisa diterima oleh tetua suku. Entah, apakah kebiasaan itu masih berlaku hingga sekarang. Tapi, yang jelas, dulu saya membawa sehelai kain merah untuk mereka.

Benar saja, sebagai tamu, saya merasa begitu dihormati. Berbagai informasi tentang suku ini pun mengalir deras keluar dari seorang tokoh suku (sayang, saya lupa namanya. Oh, ya, saya juga sempat mengabadikan beberapa foto.

http://kalipaksi.com/2009/02/26/suku-noaulu-suku-baret-merah/

Yang Kecil Semakin Tersingkir

NAMA suku Noaulu di Pulau Seram, Maluku, mencuat pada 2005 setelah polisi mengungkap kasus mutilasi yang dilakukan salah satu marga suku itu di Desa Nuanea, Amahai, Maluku Tengah.

Bagian kepala, jantung, lidah, dan jari-jari dua korban dijadikan syarat peresmian perbaikan rumah adat baru marga Sounawe.

Dalam sidang di Pengadilan Negeri Masohi terungkap bahwa para pelaku yang dijatuhi hukuman mati dan menjadi hukuman seumur hidup dalam proses banding itu tidak bisa berbahasa Indonesia. Mereka juga tak mengetahui bahwa ada aturan hukum yang melarang pembunuhan manusia.

Tokoh masyarakat Noaulu yang juga Kepala Dusun Negeri Lama, Desa Sepa, Maluku Tengah, Marwai Leipary (25), Januari lalu, mengakui tradisi penggunaan kepala manusia sebagai persembahan pembangunan rumah adat memang ada sejak zaman dulu. Namun, aturan itu sudah dihapus oleh para tokoh adat pada 1970-an dan menggantinya dengan piring kuno atau kepala binatang kuskus.

”Aturan itu sudah dihapus karena sekarang sudah berlaku hukum positif. Kalau yang terjadi dulu itu (kasus 2005 di Nuanea) adalah karena ketidaktahuan mereka,” ujarnya.

Permukiman suku Noaulu di Nuanea memang terpisah dengan suku Noaulu lain yang ada di Sepa. Jika di Nuanea hanya ada satu kelompok masyarakat, di Sepa ada lima kelompok masyarakat Noaulu yang terbagi dalam lima perkampungan, yaitu Negeri Lama, Bonara, Hauwalan, Yalahatan, dan Rohua.

Jumlah populasi suku Noaulu diperkirakan hanya ribuan orang. Negeri Lama hanya memiliki 78 keluarga yang setara dengan 271 jiwa.

Ketidakmampuan berbahasa Indonesia membuat mereka juga terisolasi dari berbagai informasi pembangunan. Mereka juga cenderung eksklusif demi menjaga tradisi leluhur.

Suku Noaulu yang ada di Sepa lebih terbuka karena permukiman mereka cenderung bersatu dengan warga desa lain. Tempat tinggal mereka juga terletak tak jauh dari Jalan Trans-Seram yang menghubungkan Masohi-Tehoru. Warga juga telah mengenal televisi dan berpendidikan lebih baik daripada saudara mereka di Nuanea.

Nama Noaulu didasarkan atas tempat awal permukiman mereka di hulu (ulu) Sungai Noa di jantung Pulau Seram. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, umumnya mereka berkebun dan berburu di hutan dengan menggunakan panah, tombak, dan sumpit.

Ciri utama masyarakat Noaulu adalah ikat kepala berwarna merah yang digunakan pria dewasa. Ikat kepala yang disebut kain berang itu tidak boleh dilepaskan dalam kondisi apa pun, kecuali saat mandi. Adapun perempuan yang telah bersuami wajib mengenakan kain atau selendang di pinggangnya.

Warga umumnya menganut agama yang mereka sebut agama suku Noaulu. Kepercayaan ini diwariskan oleh para leluhur dan tokoh adat melalui tuturan. Pemerintah umumnya memasukkan kepercayaan mereka itu dalam kelompok agama Hindu meskipun warga menolaknya.

Keterbukaan warga Noaulu di Sepa membuat mereka lebih terbuka menerima agama lain, baik Islam maupun Kristen. Sebagian warga yang berpindah agama biasanya disebabkan oleh pernikahan dengan warga luar suku Noaulu.

Politik rasional

Walau pola hidupnya masih tradisional dan dikategorikan pemerintah sebagai komunitas adat tertinggal, pola pikir masyarakat dalam berpolitik sangat rasional. Mereka hanya akan memilih peserta pemilu kepala daerah ataupun calon anggota legislatif dari partai yang sudah terbukti membangun Noaulu.

”Bukti dulu baru kami pilih. Kami tidak percaya dengan janji-janji kosong,” kata Marwai.

Hingga kini belum ada warga Noaulu yang menjadi anggota legislatif di berbagai tingkatan. Jumlah warga yang mengenyam pendidikan hingga SLTA saja sangat terbatas.

Pada Pemilu 2009, ada lima caleg dari suku Noaulu untuk pemilu DPRD Maluku Tengah. Meskipun demikian, identitas kesukuan itu bukan pertimbangan pilihan warga. ”Meskipun calon anggota legislatif itu dari Noaulu, tetapi tidak membangun, ya kita tinggal saja,” tambahnya.

Jika suku Noaulu masih gigih mempertahankan adat dan tradisi mereka, kondisi berbeda dialami suku Pagu di Kao, Halmahera Utara (Halut). Berbagai pranata dan lembaga adat sudah mulai hilang sejak masa Orde Baru akibat pembangunan yang mengabaikan keragaman dan kekhasan suku-suku Nusantara. Tradisi yang tersisa hanya proses pernikahan, sedangkan dalam berbahasa, warga lebih suka menggunakan bahasa Indonesia dialek Manado.

”Lemahnya lembaga adat membuat daya tawar masyarakat adat rendah saat menghadapi pihak luar,” kata Ketua Forum Adat Soa Pagu, Halut, Yantje Namotemo.

Ketua Lembaga Adat Hibualamo yang menaungi suku-suku di Halut, Zadrak Tongotongo, mengakui, dengan sistem multipartai dan penentuan caleg terpilih dengan suara terbanyak seperti saat ini, suara masyarakat adat akan semakin sulit disatukan. Dukungan masyarakat adat akan terpecah dan terbagi dalam beberapa calon. ”Hal ini akan membuat upaya memperjuangkan kepentingan masyarakat adat semakin sulit,” katanya.

Sistem multipartai degan pendekatan kekeluargaan itu menyulitkan pendidikan politik bagi masyarakat. Masyarakat memilih bukan didasarkan atas kualitas caleg, melainkan atas kedekatan hubungan keluarga.

Bagi Zadrak, meskipun tidak ada anggota DPR dari etnis-etnis yang ada di Halut, yaitu Tobelo, Galela, Kao, dan Loloda dengan 10 subetnisnya, hal itu bukan masalah. Di panggung politik nasional keberadaan suku-suku itu nyaris tak terdengar, tetapi peran dan pengaruh mereka di Maluku Utara cukup diperhitungkan.

”Siapa pun anggota DPR yang mewakili Maluku Utara, mereka tak bisa hanya mengatasnamakan suku ataupun daerah tertentu. Mereka mewakili Malut secara keseluruhan,” katanya.

Walaupun jauh dari perhatian penentu kebijakan nasional dan terbatasnya akses mereka untuk menyampaikan aspirasi, masyarakat Halut mampu membuktikan mereka dapat hidup berdampingan serta saling menenggang rasa dalam keberagaman etnis, budaya, dan agama.(kompas.com)

Dapatkan artikel ini di URL:
http://www.tribunkaltim.co.id/read/artikel/22659

Marhaban Yaa Ramadhan




J
elang ramadhan penuh berkah
sambut dengan suka cita
bukakan hati yang tertutup
cahayakan yang gulita
jalinkan tali silaturahim
maaf lahir batin atas semua khilaf
marhaban ya ramadhan....

semoga ada usia hingga akhir ramadhan
semoga ampunan dan rahmat Allah
senantiasa terlimpah bagi kita semua
amin....

Allaahumma baariklanaa fi Sya’ban wa ballighnaa Ramadhan
Amin.

Selamat menjalankan Ibadah Shaum Ramadhan
Semoga kita dapat menjalankan bulan Ramadhan ini dengan baik serta khusuk untuk mencapai hasil yang maksimal 'TAQWA'
Sucikan hati tuk menyambut bulan suci,
mohon maaf atas segala kesalahan.

Wassalaamu’alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh

Abdurahman Chalik Hatapayo dan keluarga

Selamat menunaikan Ibadah Puasa


Assalamualaikum Wr.Wb

Puji Syukur kita panjatkan kepada allah SWT yang telah memberikan nikmat kepada kita semua, hari demi hari berlalu tak terasa 1 tahun telah berlalu dan kita akan memasuki kembali bulan suci Ramadhan.
Azhar Latua Silawane dan keluarga mengucapkan SELAMAT MENUNAIKAN IBADAH PUASA semoga apa yang kita perbuat di bulan suci membawa berkah kepada kita semua dan Allah membersikan dosa kita di hari kemenangan nanti layaknya seperti bayi yang baru lahir.

Wassalamualaikum Wr.Wb

Oleh: Azhar Latua Silawane

Sabtu, 22 Agustus 2009

Kualitas Pendidikan Kec.Tehoru



Pendidikan merupakan potret karakter suatu Masyarakat atau Bangsa, apabila kita melihat karakter suatu Masyarakat tentang perilaku, sopan santun budaya, ekonomi, politik dan lain sebagainya,maka kita dapatlah menilai seberapa besar kualitas pendidikan yang diperolehnya. Semoga Tehoru bersama generasi penerus memiliki kualitas pendidikan yang memadai, sehingga dengan Pendidikan yang berkualitas mampu membawa Tehoru menjadi lebih baik dan mandiri.

Acara Perlomban

Keceriaan warga masyarakat Tehoru sedang menikmati salah acara 17-san di lapangan dekat masjid Raya Kecamatan Tehoru, merupakan kenikmatan tersendiri dalam suasana kedamain serta kebersamaan.

Suasana Rumah Pantai

Menikmati suasana Tehoru yang di hiasi pemandangan keindahan pantai nan elok duduk di salah satu rumah kelurga merasakan keasikan tersendiri yang jauh dari kebisingan serta kesibukan Ibu kota Jakarta tidaklah mudah terlupakan duduk bersama sama.

Desa Yaputih



Desa Yaputih dan Desa Hatu yang terletak di Teluk Telutih menjadi akes terdekat untuk mencapai Desa Piliana. Untuk mencapai Yaputih dan Hatu harus menggunakan perahu ketinting dari Tehoru, salah satu Kota Kecamatan di Seram Bagian Timur. Maluku. Telaga Ninivala adalah sebuah mata air yang menarik perhatian wisatawan ke Desa Piliana. Jika dilihat sepintas, sumber air Ninivala tersebut seakan-akan tengah mendidih yang bagian tengahnya tumbuh dua pasang pohon.
Hari tertentu, berbagai jenis kupu-kupu tersebut akan menghiasi pelosok-pelosok desa di antara awan-awan yang melintasi rumah-rumah tradisional warga Piliana.
Piliana terkenal dengan kawasan yang selalu dingin dan memiliki banyak spesies kupu-kupu. Banyaknya spesies kupu-kupu tersebut menyebabkan beberapa dari 102 kepala keluarga (KK) yang ada berjualan kupu-kupu yang diawetkan. Salah satu yang menjadi incaran pembeli dari luar Piliana dikenal dengan spesies Goliat. Jenis kupu-kupu ini diyakini paling besar karena memiliki lebar sayap sebesar dua telapak tangan manusia. Kendati demikian mata pencaharian seperti ini belakangan mulai dilarang.
Keindahan desa yang patut dikunjungi ini karena terletak di puncak sebuah bukit yang merupakan bagian dari jalur menuju dari Gunung Binaiya (3.000 meter dpl) dalam kawasan Taman Nasional Manusela.
Salah satu yang membuat Piliana menjadi unik karena keberadaan mata air (telaga) yang disebut dengan Ninivala yang bisa diartikan sebagai Air Putri. Ninivala ini terletak sekitar dua kilometer dari Desa Piliana dan menjadi sumber air bagi beberapa desa pantai Telutih.Saat-saat yang cerah menjadi suasana yang paling disukai anak-anak Desa Piliana untuk bermain. Kehidupan warga Piliana yang tetap menjaga kerukunan juga menjadi sebuah wisata budaya yang menarik
Perjalanan menuju Piliana merupakan sebuah petualangan tersendiri dan cukup berat. Selain hanya jalan setapak, kawasan yang dilalui pun berupa sungai dan batu-batuan.
Keindahan Piliana boleh dikatakan masih sedikit dirasakan para wisatawan. Selain transportasi yang sulit ke kawasan ini, kondisi kehidupan desa Piliana juga boleh dikatakan sangat memprihatikan. Infrastruktur dan fasilitas yang minim ini mendorong Yayasan Tanggul Bencana Indonesia (YTBI) dan Komite Pelaksana Community Based Conflict Management (CBCM) Seram mulai memberi perhatian atas kawasan desa dan warga se-tempat. Dengan terbukanya akses dan dukungan sarana yang memadai diharapkan Piliana menjadi salah satu pusat wisata di Pulau Seram.
Untuk mencapai Piliana hanya bisa dilalui dengan jalan darat dan laut. Dari Ambon, ibu kota Maluku, harus menuju ke Masohi, ibu kota Kabupaten Seran Bagian Timur menggunakan kapal cepat sekitar tiga jam. Perjalanan dilanjutkan ke Tehoru dengan mobil selama tiga jam. Lalu dari Tehoru menyeberang ke Desa Yaputih atau Desa Hatuh di Teluk Telutih menggunakan perahu ketinting.
Dari kedua desa ini perjalanan dilanjutkan dengan jalan kaki ke Piliana sekitar delapan kilometer. Jalan setapak dan mendaki menyebabkan waktu yang dibutuhkan dari Yaputih atau Hatu mencapai tiga jam. Piliana tidak saja menjadi tempat wisata yang menarik, tetapi juga perjalanannya adalah sebuah petualangan tersendiri sembari berolahraga. [SP/Heri Soba]


Photo Pantai Tehoru








Minggu, 16 Agustus 2009

Indahnya Tehoru Bersama keluarga




Tehoru, Maluku Tengah



Tehoru adalah sebuah kecamatan di Kabupaten Maluku Tengah, Maluku, Indonesia. Terdapat pelabuhan rakyat di desa tehoru. Merupakan salah satu akses masuk ke Taman Nasional Manusela yaitu di desa Yaputih. Akses ke Masohi juga dapat ditempuh melalui jalan darat, cuma karena jalan trans seram yang menghubungkan Masohi (ibukota kabupaten) dengan Tehoru masih jauh dari layak terutama banyak sungai yang tidak memiliki jembatan maka jarak sekitar 100 Km Masohi - Tehoru ditempuh dalam jangka waktu 3 jam.