Sabtu, 29 Agustus 2009

Yang Kecil Semakin Tersingkir

NAMA suku Noaulu di Pulau Seram, Maluku, mencuat pada 2005 setelah polisi mengungkap kasus mutilasi yang dilakukan salah satu marga suku itu di Desa Nuanea, Amahai, Maluku Tengah.

Bagian kepala, jantung, lidah, dan jari-jari dua korban dijadikan syarat peresmian perbaikan rumah adat baru marga Sounawe.

Dalam sidang di Pengadilan Negeri Masohi terungkap bahwa para pelaku yang dijatuhi hukuman mati dan menjadi hukuman seumur hidup dalam proses banding itu tidak bisa berbahasa Indonesia. Mereka juga tak mengetahui bahwa ada aturan hukum yang melarang pembunuhan manusia.

Tokoh masyarakat Noaulu yang juga Kepala Dusun Negeri Lama, Desa Sepa, Maluku Tengah, Marwai Leipary (25), Januari lalu, mengakui tradisi penggunaan kepala manusia sebagai persembahan pembangunan rumah adat memang ada sejak zaman dulu. Namun, aturan itu sudah dihapus oleh para tokoh adat pada 1970-an dan menggantinya dengan piring kuno atau kepala binatang kuskus.

”Aturan itu sudah dihapus karena sekarang sudah berlaku hukum positif. Kalau yang terjadi dulu itu (kasus 2005 di Nuanea) adalah karena ketidaktahuan mereka,” ujarnya.

Permukiman suku Noaulu di Nuanea memang terpisah dengan suku Noaulu lain yang ada di Sepa. Jika di Nuanea hanya ada satu kelompok masyarakat, di Sepa ada lima kelompok masyarakat Noaulu yang terbagi dalam lima perkampungan, yaitu Negeri Lama, Bonara, Hauwalan, Yalahatan, dan Rohua.

Jumlah populasi suku Noaulu diperkirakan hanya ribuan orang. Negeri Lama hanya memiliki 78 keluarga yang setara dengan 271 jiwa.

Ketidakmampuan berbahasa Indonesia membuat mereka juga terisolasi dari berbagai informasi pembangunan. Mereka juga cenderung eksklusif demi menjaga tradisi leluhur.

Suku Noaulu yang ada di Sepa lebih terbuka karena permukiman mereka cenderung bersatu dengan warga desa lain. Tempat tinggal mereka juga terletak tak jauh dari Jalan Trans-Seram yang menghubungkan Masohi-Tehoru. Warga juga telah mengenal televisi dan berpendidikan lebih baik daripada saudara mereka di Nuanea.

Nama Noaulu didasarkan atas tempat awal permukiman mereka di hulu (ulu) Sungai Noa di jantung Pulau Seram. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, umumnya mereka berkebun dan berburu di hutan dengan menggunakan panah, tombak, dan sumpit.

Ciri utama masyarakat Noaulu adalah ikat kepala berwarna merah yang digunakan pria dewasa. Ikat kepala yang disebut kain berang itu tidak boleh dilepaskan dalam kondisi apa pun, kecuali saat mandi. Adapun perempuan yang telah bersuami wajib mengenakan kain atau selendang di pinggangnya.

Warga umumnya menganut agama yang mereka sebut agama suku Noaulu. Kepercayaan ini diwariskan oleh para leluhur dan tokoh adat melalui tuturan. Pemerintah umumnya memasukkan kepercayaan mereka itu dalam kelompok agama Hindu meskipun warga menolaknya.

Keterbukaan warga Noaulu di Sepa membuat mereka lebih terbuka menerima agama lain, baik Islam maupun Kristen. Sebagian warga yang berpindah agama biasanya disebabkan oleh pernikahan dengan warga luar suku Noaulu.

Politik rasional

Walau pola hidupnya masih tradisional dan dikategorikan pemerintah sebagai komunitas adat tertinggal, pola pikir masyarakat dalam berpolitik sangat rasional. Mereka hanya akan memilih peserta pemilu kepala daerah ataupun calon anggota legislatif dari partai yang sudah terbukti membangun Noaulu.

”Bukti dulu baru kami pilih. Kami tidak percaya dengan janji-janji kosong,” kata Marwai.

Hingga kini belum ada warga Noaulu yang menjadi anggota legislatif di berbagai tingkatan. Jumlah warga yang mengenyam pendidikan hingga SLTA saja sangat terbatas.

Pada Pemilu 2009, ada lima caleg dari suku Noaulu untuk pemilu DPRD Maluku Tengah. Meskipun demikian, identitas kesukuan itu bukan pertimbangan pilihan warga. ”Meskipun calon anggota legislatif itu dari Noaulu, tetapi tidak membangun, ya kita tinggal saja,” tambahnya.

Jika suku Noaulu masih gigih mempertahankan adat dan tradisi mereka, kondisi berbeda dialami suku Pagu di Kao, Halmahera Utara (Halut). Berbagai pranata dan lembaga adat sudah mulai hilang sejak masa Orde Baru akibat pembangunan yang mengabaikan keragaman dan kekhasan suku-suku Nusantara. Tradisi yang tersisa hanya proses pernikahan, sedangkan dalam berbahasa, warga lebih suka menggunakan bahasa Indonesia dialek Manado.

”Lemahnya lembaga adat membuat daya tawar masyarakat adat rendah saat menghadapi pihak luar,” kata Ketua Forum Adat Soa Pagu, Halut, Yantje Namotemo.

Ketua Lembaga Adat Hibualamo yang menaungi suku-suku di Halut, Zadrak Tongotongo, mengakui, dengan sistem multipartai dan penentuan caleg terpilih dengan suara terbanyak seperti saat ini, suara masyarakat adat akan semakin sulit disatukan. Dukungan masyarakat adat akan terpecah dan terbagi dalam beberapa calon. ”Hal ini akan membuat upaya memperjuangkan kepentingan masyarakat adat semakin sulit,” katanya.

Sistem multipartai degan pendekatan kekeluargaan itu menyulitkan pendidikan politik bagi masyarakat. Masyarakat memilih bukan didasarkan atas kualitas caleg, melainkan atas kedekatan hubungan keluarga.

Bagi Zadrak, meskipun tidak ada anggota DPR dari etnis-etnis yang ada di Halut, yaitu Tobelo, Galela, Kao, dan Loloda dengan 10 subetnisnya, hal itu bukan masalah. Di panggung politik nasional keberadaan suku-suku itu nyaris tak terdengar, tetapi peran dan pengaruh mereka di Maluku Utara cukup diperhitungkan.

”Siapa pun anggota DPR yang mewakili Maluku Utara, mereka tak bisa hanya mengatasnamakan suku ataupun daerah tertentu. Mereka mewakili Malut secara keseluruhan,” katanya.

Walaupun jauh dari perhatian penentu kebijakan nasional dan terbatasnya akses mereka untuk menyampaikan aspirasi, masyarakat Halut mampu membuktikan mereka dapat hidup berdampingan serta saling menenggang rasa dalam keberagaman etnis, budaya, dan agama.(kompas.com)

Dapatkan artikel ini di URL:
http://www.tribunkaltim.co.id/read/artikel/22659