Rabu, 02 September 2009

Cidaku Cakalele & Belanda KNIL



Jakarta - Gugus Lease tak henti-henti membuat 'keramaian'. Serakan pulau kecilnya yang terdiri dari Banda, Ambon, Saparua, Ina, Seram, Buru, dan juga Sanana itu sepanjang waktu bergemuruh. Tak terkecuali dengan unjuk diri tarian cakalele yang 'mencoreng' kedaulatan negara.

Tarian cakalele sebenarnya bukan hanya milik orang yang tinggal di Pulau Ambon. Dia merupakan tarian 'rakyat Lease' yang tersebar di beberapa pulau. Tarian ini symbol heroisme, sikap ksatria, dan lambing kesaktian. Bahkan bagi etnis Suku Naulu maupun Alifuru yang tinggal di Pulau Ambon dan Pulau Seram, tarian ini kandungan magisnya sangat kental manakala disertai dengan ritus pegu dan upacara pataheri.

Pegu merupakan sebuah ritual yang harus dijalankan laki atau perempuan yang ingin memiliki kekebalan. Dia harus menjalankan laku itu di 'rumah batu-batu' yang kini tinggal kenangan, yang terletak di Teluk Saleman. Ritus ini selain mensyaratkan 'laku' berat, juga wajib mentato seluruh wajah dengan gambar kelelawar.

Jika ritus itu sudah dijalankan, maka para pelaku ritus itu meyakini memiliki kekuatan supranatural. Mereka menguasai ilmu perang, psikologi perang, fanatisme sebagai mesin perang, serta siap menjadi seorang panglima di medan laga. Sedang pataheri bagi anak-anak Suku Naulu merupakan simbol kedewasaan. Upacara ini dijalani mereka yang sudah akil balik. Mereka harus 'dibuang' ke hutan. Belajar berlari sekencang kijang, melompat dari pohon ke pohon selincah kusu (tupai), serta bertahan hidup di belantara sebelum mempelajari asal-usul suku. Jika kepala suku menyatakan mereka lulus, anak-anak ini akan mendapatkan selembar kain merah yang disebut cidaku. Kain ini dililitkan di kepala sebagai lambing 'kehebatan' dan kedewasaan.

Konon ritus ini yang mengilhami Korp Baret Merah Kopassus berbaret sama. Tarian cakalele dengan cidakunya itu juga menyebar sampai ke Kepulauan Kei yang terletak di bawah Kepala Burung (Pulau Irian). Di Pulau Dullah, misalnya, ada sepasang patung yang disebut Yot Tomat. Dalam bahasa setempat, itu artinya : peringatan terhadap umat. Disebut begitu, karena orang-orang yang tinggal di kawasan ini sebenarnya masih basudara (sesaudara). Dia dibuang ke daerah itu akibat pemberontakan yang dilakukannya di jaman Belanda. Dia tidak mau lepas dari asal-usulnya, dan itu dituangkan dalam 'patung kenangan' yang kemudian dikultuskan. Dengan gambaran antropologi simbol (metafisis) di atas, maka 'kebudayaan Lease' merupakan kebudayaan yang amat tinggi. Kebudayaan ini memberi garansi terhadap kepatuhan dan patriotisme terhadap bangsa dan negaranya.

Tapi kenapa kemudian cakalele itu akhirnya dipakai sebagai 'alat' untuk mempermalukan bangsa ini di depan presidennya dan tamu asing negara? Sebenarnya ada satu benang merah yang bisa dituding, dan menjadi alasan 'pemberontak' Rakyat Maluku Selatan (RMS) yang 'lemah' itu laten unjuk 'keperkasaan'. Itu tak lepas dari masih banyaknya 'penduduk Belanda' yang tinggal di Ambon. Mereka pensiunan yang mendapat gaji bulanan dari Belanda. Mereka adalah orang-orang kaya di Ambon. Mereka bebas pulang pergi Indonesia - Belanda, karena orang-orang KNIL itu, penduduk setempat yang 'mbalelo' menjadi tentara Belanda, ingin menghabiskan sisa umurnya di tanah kelahirannya. Mereka yang patut disebut sebagai 'onak' dalam daging negeri ini dibanding bangsa lain. Sebab, mereka yang dalam tabel pemerintah setempat masuk kategori sebagai turis itu loyalitasnya sudah diragukan sejak negeri ini diproklamasikan. Apalagi ide pendirian RMS sendiri juga berasal dari negeri yang sama.

Keterangan Penulis: Djoko Su'ud Sukahar, pemerhati budaya, tinggal di Jakarta. Alamat e-mail jok5000@yahoo.com. (Djoko Su'ud Sukahar/)

Tetap update informasi: http://m.detik.com